FF BTS - Bangtan Boys / The Seventh Case / Part 1
Minggu, 20 Desember 2015 • 16.38 • 0 comments
The seventh Case (The
7th case)
Author : Vanillatae
Rate : PG 15 Cast : BTS member Main Cast :Park Jimin Genre : Mistery, Penyelidikan, Friendship
“Biasanya
angka 7 di penuh dengan keberuntungan, tapi tidak bagi kami ....!”
“...orang
terdekat kami yang tanggal lahirnya terdapat angka 7 mati secara misterius!!”
“Apa
aku juga akan bernasib sama seperti mereka? Karena aku lahir tepat pada tanggal
7”
******* The Seventh Case (The 7th
case) *******
Namsan tower | Pukul 20:45
Suasana malam
membawa kehangatan bagi para insan yang memilih menghabiskan waktu dengan
kekasihnya bahkan bulanpun setuju, pancaran sinar benda raksasa itu sangat
terang dan indah sehingga berhasil membuat puluhan pasangan yang ada pada
puncak Namsan tower menjadi nyaman dan hangat. Cuaca pun sangat mengerti akan
hati para pasangan-pasangan itu, tak ada angin, suhu hanya diam di 15 derajat
celcius.
Semua pasangan
yang datang sangat beruntung, para wanita diperlakukan layaknya seorang ratu
oleh para pria begitu pula sebaliknya ada yang sesekali mengusap sudut bibir
pasangannya karena es krim rasa vanilla yang mereka makan, ada pula yang
mengabadikan moment dengan mengambil beberapa gambar lucu dan sebagai tanda
perpisahan dengan namsan tower sudah menjadi hal wajib bagi semua pasangan untuk
menulis nama masing-masing di gembok beraneka warna dan menguncinya di tempat
yang telah disediakan. “Kang JungWoo Loves
Han JaeHee semoga cinta kita abadi selamanya” begitulah kata-kata romantis
yang tertulis di gembok berwarna ungu muda yang siap dikunci oleh salah satu
pasangan yang tengah memperingati hari ke-100 mereka memadu kasih.
Namun sepertinya
tidak semua pasangan yang beruntung malam ini, pasangan yang satu ini terlihat
berbeda dengan pasangan-pasangan lain, mereka tidak saling menyuapi es krim,
mengambil beberapa gambar, apalagi mengunci gembok bersama. Mereka berdua terlihat
sedang beradu mulut dengan mata sang wanita yang sedikit berair.
“Kau tidak
mencintaiku lagi!” Wanita mungil itu berteriak histeris, sepertinya emosinya
sudah memuncak. Bebepara pasangan sempat menoleh ke sumber suara tersebut dan
memutuskan untuk menjauh.
“Heejoo-ya... itu
tidak benar! aku masih mencintaimu, aku berani sumpah!” Suara lucu pria itu
terdengar bergetar. Tangan kanannya ia gerakan mencoba menghapus air mata yang
berhasil menetes, namun dengan cepat wanita itu menangkis tangan kekar pacarnya
itu.
“Bohong! Kau
selalu mengacuhkanku... kau lebih mencintai buku-buku detektif bodohmu itu!”
Wanita berambut sebahu itu meluapkan segala emosinya, kini air asin yang menggenangi
bola matanya kembali meluap, mengalir di kedua pipi merahnya.
“B-Bodoh?!” Pria
itu mengerutkan dahinya.
“Benar!”Wanita
pirang itu menatap pria di depannya dengan kesal, nafasnya tak teratur dan
sesekali tersendat. Bekas air mata di pipinya telah membentuk dua garis tak
beraturan.
“HeeJoo-ya itu
bukan hal yang bisa kau katakan ‘bodoh’ seenaknya, itu keinginanku selama ini”
Pria itu berusaha menghaluskan suaranya meskipun masih ada getaran yang lolos,
cairan bening mulai tampak di kelopak matanya tapi ia berusaha untuk kuat.
“Sama saja tidak
memiliki pacar jika pacaran denganmu, brengsek!” Pria itu terpaku, hatinya
perih bahkan tercabik-cabik mendengar ucapan demi ucapan dari wanita yang telah
ia pacari selama dua tahun itu, ingin rasanya ia menjelaskannya tapi ia sadar
bahwa ia juga salah. Iapun lebih memilih untuk diam.
“Disaat aku
kesepian, kau di mana saja?! Disaat aku membutuhkanmu kau selalu tak ada!” Wanita
itu menggigit kuat bibir bawahnya menahan suara tangisan yang ingin keluar. Bilur
airmata kembali mengalir ketika wanita itu mengingat kembali masa-masa
menyakitkan yang pernah ia alami.
“Sana! Pacaran
saja dengan cita-citamu itu!!” Tambah wanita itu dengan menaikan nadanya pada
akhir kalimat.
“Hee..Heejoo-ya
kau biasanya tidak seperti ini”
“Kita putus”
DEG..............
Waktupun seakan
berhenti.
DEG..............
Terasa seperti
ribuan silet menyayat pelan hati pria itu.
DEG..............
“Apa ini nyata?”
batin pria itu.
DEG..............
“Ini nyata”
gumamnya tanpa suara.
“Apa kau bilang!?”
Pria itu masih terpaku dan sibuk mencerna kalimat terakhir yang keluar dari
bibir mungil wanita itu. Bunga daisy putih dengan lingkaran pita kuning kecil
masih setia ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Bunga daisy putih yang mekar pada musim panas bulan kedua, Kata-kata
itu masih ia simpan rapat-rapat dalam otaknya, pria itu mengeratkan
genggamannya pada bunga tersebut hingga plastik bening yang menjadi pembungkus
berkerut tak beraturan bahkan ada beberapa tangkai bunga yang patah.
“Kita putus!” Wanita
itu mengulang kalimatnya enteng. Merasa sedikit lega, wanita itu pun memilih
untuk pergi dari tempat itu, ia berjalan kasar mendorong pria itu dengan bahu
mungilnya. Pria itu terdorong beberapa langkah ke belakang, bunga daisy putih
itu terlepas dari genggamannya dan jatuh. Bunga putih itu kini tergeletak di
tanah dengan beberapa tangkai yang lepas dari pembungkusnya.
“HeeJoo-ya...”
Lirihnya, tak ada respon malahan kaki jenjang itu mendarat sempurna pada kelopak
bunga itu hingga tak berbentuk lagi.
Padahal setiap hari kau merengek memintaku
membelikan bunga daisy.
Halte Bus 21:39 Malam.
“Apa yang telah
aku lakukan?!” Pria yang sedang putus cinta itu duduk termenung di sebuah halte.
Halte yang tadinya sepi kini dihiasi oleh umpatan-umpatan penyesalannya. Pria
itu memilih mondar-mandir, sesekali ia menggigit ibu jarinya.
“Apa aku harus
minta maaf?”
“Tidak!! Aku
harus merelakannya” Ia memberikan kalimat-kalimat penyemangat untuk dirinya
sendiri untuk meyakinkan kalau perbuatannya tadi benar. Akhirnya ia memperolehnya,
pria dengan jaket kulit hitam itu memutuskan untuk pulang dan membaca buku-buku
miliknya yang tentunya itu semua berkaitan dengan detektif.
“Oh! Busnya
datang”
*Trrtttt Trtttt
Trrtttt* Tiba-tiba ponsel pria itu bergetar. Ia merogoh iPhonenya yang bercasingkan
conan dengan kaca pembesar di saku jaketnya.
Dengan santai ia
mengangkat panggilan itu sembari berjalan menuju pintu bus. “Ne Hyung..”
“Jiminie??” Suara
dari sebrang telepon membuat langkah pria pemilik nama Jimin itu terhenti.
Namanya Jimin bermarga Park dan sangat terobsesi dengan detektif.
“Apa yang terjadi
hyung??” Jimin mengerutkan dahinya heran.
“Kau ada di mana
hmmm??”
“Aigooo..hyung
kau mabuk??” Desisnya pelan.
“Haksaeng! Mau
naik atau tidak?” Suara berat pak sopir memotong percakapan kedua remaja itu.
“Tidak jadi, saya
minta maaf!” Jimin berbungkuk 90 derajat sebagai tanda permintaan maafnya, ia
langsung berlari ke suatu tempat yang biasa ia kunjungi untuk menghilangkan
penat bersama teman-temannya.
JJANG RESTORAN 22:01 Malam.
“Heosok hyung!!”
Jimin berteriak ketika melihat hyung terdekatnya itu tertidur dengan kepala bersandar
di meja bundar berwarna coklat. Kedua pipinya memerah tanda ia telah meminum
kurang lebih empat botol soju.
Jimin beberapa
kali mengguncang kasar tubuh Heoseok bahkan menepuk-nepuk pipinya agar Heoseok
sadar. “Hmmm...” dihentikannya aktifitasnya ketika ada gerakan kecil dari tubuh
kurus Heoseok.
“Yang benar saja,
hyung kenapa kau seperti ini pasti ada sesuatu kan?!”
Heoseok menarik
nafas panjang. Mengambil tatapan kosong.
“Aku tidak tau
lagi harus bagaimana...” Sebaris kalimat keluar dari mulut Heoseok. perlahan ia
mengambil gelas berisi soju dan meminumnya lagi.
“Apa yang
sebenarnya terjadi hyung?”
“Jimin-ah...”
*FLASHBACK ON*
“Pokoknya kamu
harus masuk ke sekolah penerbangan itu! Titik.” Sudah setengah jam lebih suara
serak lelaki paruh baya terdengar menghiasi setiap sudut rumah Hoseok. Suasana
rumah itu tegang akibat perdebatan yang tak kunjung berhenti.
“Tidak Abeoji.
Aku tidak mau masuk ke sekolah itu.” Entah sudah berapa kali pria berumur 20
tahun itu mengatakannya.
“Heoseok-ah..
patuhilah peritah ayahmu. Ini demi kebaikanmu juga.” Kini ibunya yang angkat
bicara.
Heoseok menatap
ibunya yang ada di sampingnya. Perasaannya kacau balau melihat ibunya yang
terus-terusan menangisinya. Heoseok mengambil beberapa lembar tissue dan
mengusap lembut mata hingga pipi ibunya. Ia menyingkirkan beberapa anak rambut
yang menutupi mata ibunya dan menatap lekat manik kecoklatan ibunya.
“Eomma, tolong
kali ini percayalah padaku” Heoseok mengusap pipi ibunya dengan penuh
kehangatan.
Ibu Heoseok tak
dapat berkata apa-apa, ia seperti melihat suatu keyakinan yang sangat kuat
terpancar dari mata anak satu-satunya itu.
“Tidak bisa!
Apapun yang terjadi kamu harus masuk ke sekolah penerbangan itu” Suara serak
kembali terdengar.
“Abeoji! Aku
tidak memiliki kemampuan di bidang itu. Bisa-bisa pesawat akan jatuh jika aku
yang menjadi pilotnya...” Heoseok memasang muka memelas.
“Untuk itu kau
harus belajar! Bukankah semua berawal dari nol?”
“Abeoji kumohon!”
“Tidurlah.. besok
kau harus mempersiapkan berkas-berkas untuk masuk di sekolah itu” Ucap ayah
Heoseok santai dan meninggalkan ruangan itu.
Otak Heoseok
berpikir keras mencari jalan keluar dari permasalah ini. Jika situasinya sudah rumit
seperti ini akan sangat sulit baginya untuk mengubah pikiran ayahnya, apalagi
Heoseok adalah anak satu-satunya yang artinya semua tugas ayahnya akan menjadi
tugasnya di masa depan dengan kata lain Heoseok akan menjadi tulang punggung
keluarga. Heoseok mengerti akan maksud ayahnya tapi ini tidak seperti yang ia
inginkan.
Dengan berat hati
Heoseok melirik ibunya yang hanya menyaksikan perdebatan suami dan anaknya.
“Maafkan aku ibu,
kumohon maafkan aku!”
Itulah kalimat
terakhir yang keluar dari mulut Heoseok sebelum ia memutuskan untuk pergi dari
rumah itu atau yang sekarang ia sebut rumah orangtuanya, itu bukan rumahnya
lagi menurut Hoseok.
“Heoseok-ah...”
“Heoseok-ah...!!”
Heoseok dapat
mendengar suara ibunya yang berteriak berulang kali memanggil namanya. Setiap
teriakan yang keluar membuat hati Heoseok sakit seperti teriris benda tajam. Ia
sangat merasa bersalah pada ibunya karena harus berpisah dengan cara seperti
ini.
*FLASHBACK OFF*
“Hyung... apa kau
sakit?” Jimin menaruh tangannya di dahi dan turun ke pipi Heoseok.
“Tidak, memangnya
kenapa?” Jawabnya polos.
“KENAPA KAU LARI
DARI RUMAH!?” Jimin berteriak di samping telinga Heoseok menimbulkan suara nyaring
yang sangat Heoseok benci. Tangannya terbuka dan segera menutup kedua daun
telinganya.
“Sekarang apa yang
akan kau lakukan?”
“Apa maksudmu?!
Kau pasti sudah tau! Lagipula kalau kau yang ada di posisiku kau akan mengambil
jalan ini juga.”
Jimin menghela
nafas panjang “Sekolah detektif Han il sudah buka pendaftaran”
“Aku tahu..”
“Terus
bagaimana?” Tanya Jimin.
“Dasar bodoh!
Kita harus mendaftar.....”
“Bukan itu
maksudku hyung!” Jimin menyipitkan matanya dan beberapa kali menggelengkan
kepala. Heoseok terlihat seperti seorang gembel yang selalu duduk di depan
pertokoan sekarang.
“Terus apa?”
“Kau mau tinggal di
mana?!!!” Kembali suara melengking Jimin menerobos telinga tak bersalah
Heoseok.
“Ah, So..Soal
i..tu..Aku juga bingung” Heoseok menggaruk kasar kepalanya. Ia mengetuk-ngetuk dagunya untuk mencari sebuah ide.
“Adikku tersayang
Jiminie..” Panggil Heoseok sambil tersenyum lebar kearah Jimin. Sepertinya
sekarang Heoseok sedang melakukan aegyo
. Membuat gelembung di kedua pipinya, dengan mata yang dibuat menyipit
sedangkan tangannya ia kepal dan diletakan di kedua sisi pipinya.
Rasanya seperti
mau muntah ketika melihat ekspresi Heoseok yang sedeng bertingkah imut. Jimin
hanya mengalihkan pandangannya dari pemandangan menjijikan itu.
“Eugh,
hentikan kumohon!”
“Jimin-ah
ayolah hanya satu malam...” Tangan Heoseok membentuk angka satu.
“Hyung
kau tahu sendirikan ayahku seperti apa“
“Tahu!!
Aku janji hanya malam ini.”
“Baiklah!”
Pembicaraan
sempat terhenti beberapa menit, keduanya terlihat sedang bergulat dengan
pemikiran mereka masing-masing. Tangan kurus Heoseok meraih gelas bening yang
terdapat alkohol di dalamnya, meminum cairan alkohol itu walaupun timbul rasa
pahit dan pekat namun Heoseok menyukai sensasi hangat dan nikmat alkohol itu
ketika mengalir di dalam kerongkongan. Sementara Jimin lebih asyik dengan gelas
beningnya. Ia memutar-mutar gelas bening itu menggunakan jari-jari lincahnya. Perlahan
Jimin meletakan kepalanya di meja yang hampir penuh dengan botol kaca hijau dan
beberapa piring kecil yang berisikan kue beras saus merah.
“Hyung..
..”
“Hmm?”
“Sebenarnya
aku... putus dengan HeeJoo”
Seketika
aktivitas Heoseok terhenti, ia memusatkan pandangannya pada Jimin.
“Apa
katamu?” Heoseok memicingkan matanya.
“Aku
bilang, aku putus dengan HeeJoo”
“HeeJoo?
ah! Wanita yang sering kau ceritakan
padaku itu?”
“Iya..”
“Ta..tapi
bagaimana bisa?” Heoseok mulai tertarik dengan topik cerita Jimin, ia pun
terus-terusan bertanya bagaimana asal mula peristiwa itu terjadi, mengguncang
kecil tubuh Jimin agar ia mau memberitahu cerita itu dengan detail dan rinci.
“Ia
tidak menerimaku apa adanya...”
“Maksudmu?”
“HeeJoo
memutuskanku karena aku lebih fokus pada buku-buku detektifku!. HeeJoo bilang
itu hanya hal bodoh” Jimin kembali mengingat peristiwa yang terjadi di Namsan
tower beberapa jam yang lalu. Perih, rasa yang kini bersarang di hati kecilnya.
“Wanita
itu.. kenapa ia tega sekali berkata seperti itu...”
“Aku
juga bingung” Jimin hanya menggelengkan kepala.
“lihatlah
dirimu, hanya masalah kecil seperti itu kau jadi orang yang kehilangan semangat
hidup apalagi masalah besar, bisa-bisa kau bunuh diri!”
“Hyung!
Kau tidak mengerti perasaanku..”
“
Aku ini lebih tua satu tahun darimu, aku tahu persis bagaimana perasaanmu saat
ini. Sini aku beritahu satu hal, menjadi detektif itu bukanlah hal yang sepele,
jika kau ingin menjadi detektif hebat kau harus mengutamakan hal itu, karena kalau
tidak kasusmu tidak akan pernah terpecahkan dan selamanya akan menjadi
misteri.”
“Aku
tahu..”
“Ok.
Baiklah! Malam ini ayo kita minum sepuasnya! bibi beri kami dua botol soju dan
sepiring kue beras!”
“Ne”
Balas seseorang dari dapur
Apgujeong 23:07 Malam
“Aku
pulang!!”
Seorang
pelajar berpostur tinggi dengan cepat membuka pintu usang rumahnya, derasnya
hujan berhasil membuat seluruh seragam sekolahnya basah. Ia sangat senang
pasalnya ia baru saja mendapat gaji pertamanya dari kerja part time di sebuah restoran
ramen. Ibunya harus bekerja keras demi menghidupinya karena ia tak memiliki
ayah lagi namun pria itu sering melarang ibunya karena asma yang diidap ibunya.
Tak lupa pria berkulit putih itu membawa sekantong plastik yang berisikan kaki babi
yang baru saja dipotong yang ia beli di ujung jalan, selain mie saus kacang
hitam, ramen, dan kimbab, kaki babi merupakan salah satu makanan yang paling
digemari ibunya.
“Aku
pulang!” Pria itu berucap lagi namun kali ini dengan suara yang lebih keras.
Biasanya ibunya akan menjawab “eoh kau sudah datang” ketika ia pulang. Tapi
kenapa malam ini tidak? Pikiran yang tidak-tidak kini mulai menguasai kepalanya.
“Eomma?”
Pria itu masuk ke dalam rumahnya. Rumahnya gelap. Hanya ada beberapa cahaya dari
bulan yang lolos dari celah kecil jendelanya. Dengan perasaan gelisah, ia pun
menuju sudut rumahnya di mana ada saklar lampu di sana.
“Kenapa
eomma tidak menyalahkan lam-” perkataannya terpotong ketika mendengar suara air
dengan sangat jelas dan keras yang keluar dari keran kamar mandi. Pria itu
mengerutkan keningnya, mencoba mengingat apakah sebelumnya keran kamar mandi
pernah ada masalah atau tidak, atau mungkin ada keluarganya yang datang.
TSSSSS!!!
Suara
air dari kamar mandi kini mendominasi rumah pria itu, bahkan suara hujanpun
tertutupi.
“Eomma?
Kau di dalam?” Tetap tak ada balasan dari dalam kamar mandi.
Pria
itu sudah hampir sampai di ambang pintu, namun detik itu juga keran air
berhenti.
“Eomma?”
Pada
detik berikutnya suara air itu kembali terdengar “TSSSSSSSSSS” tapi kali ini lebih
keras dan nyaring. Pria itu ketakutan, muncul titik-titik keringat di permukaan
pelipisnya. Ia memutar langkahnya untuk pergi ke dapur, mengambil sebuah pisau untuk
menjadi pelindungnya jika terjadi sesuatu.
“Siapa
di dalam?!” Air kembali berhenti, Ia memanjangkan langkahnya dan mengeratkan
pegangannya pada pisau itu, saking kuatnya pisau itu terlihat bergetar.
TSSSS!
Bunyi
air kembali terdengar. Kini ia tepat berada di ambang pintu. Pria itu mengatur
nafas dan bersiap untuk menendang pintu kamar mandi.
“tiga...dua...”
Ia menghitung mundur dengan posisi kaki yang hampir menendang.
“SATU!!!”
Bunyi keran air berhenti bersamaan dengan tendangan keras pria itu. Perlahan ia
masuk ke dalam kamar mandi. Kakinya tergenang sampai mata kaki akibat air yang
terus-terusan keluar. Ia pun memutar keran air tersebut hingga tak ada lagi air
yang keluar.
Tepat
pada detik selanjutnya...
“AAKKKHHHH!”
Terdengar suara teriakan keras dari seorang wanita paruh baya di ruangan lain. Detik
itu juga pria itu langsung berlari ke sumber suara itu, jantungnya berpacu dua
kali lipat dari sebelumnya, itu suara ibunya.
“JANGAN!!
KUMOHON!!” Kini suara tangisan dan jeritan terdengar.
Mata
pria itu berkaca-kaca, ia berhasil mencari sumber suara tersebut namun pria itu
kurang beruntung ruangan itu terkunci, dengan pisau yang masih di genggamannya
ia terus mendobrak pintu kamarnya yang terdapat gantungan kecil bertuliskan Jungkook’s room itu.
“AKHHH
KUMOHON HENTIKAN!!!!” Wanita itu kembali berteriak. Suaranya beberapa kali
tersendat akibat rasa sakit yang ia rasakan.
“Eomma!!
A-Apa yang sebenarnya te-terjadi!!?” Suara pria itu bergetar hebat, matanya
merah berair. Pintu yang dari tadi ia dobrak tak kunjung terbuka karena tenaganya
yang sedikit-demi sedikit menghilang seiring dengan teriakan ibunya yang
sepertinya sangat tersiksa.
“AKKKHHHH!”
Teriakan panjangpun terdengar.
Akhirnya pintu
berhasil terbuka....
#TANGGG!
Pisau yang dengan
sekuat tenaga ia genggam kini terjatuh di lantai keramik putih yang juga
menjadi bahan pijakannya. Pria itu tak dapat berkata-kata. Ia mulai menggerakan
kakinya, berjalan gontai ke arah tempat tidur di mana ada seorang wanita cantik
terbaring kaku dengan darah di sekelilingnya.
“Eo-Eomma”
Pria itu merasakan panas di matanya. Air matanya jatuh untuk kesekian kali. Pria
itu jatuh ke lantai karena kakinya tak mampu lagi menopang berat badannya,
semua badannya terasa lemah, perasaannya campur aduk antara sedih, marah, dan
kecewa. Tangannya bergetar tapi ia tetap berusaha menggerakannya. Ia ingin
menyentuh pipi ibunya untuk yang terakhir kalinya.
“Eomma
bangunlah aku sudah datang. Aku membawakan
jjokpal (kaki babi) kesukaanmu” Ucapnya lirih.
“Eomma?”
ia menepuk halus pipi ibunya yang masih hangat berharap ada sebuah gerakan
kecil yang muncul.
“Maafkan
aku hiks hiks!!” Tangisan pria itu pun pecah, emosi yang dari tadi ia pendam
kini ia lampiaskan dengan sebuah tangisan. Ia berharap ibunya tak malu melihat
penampilan dirinya yang sangat kacau, air mata tak henti-hentinya mengalir
membasahi pipinya, rambut yang biasanya ibunya usap kini telah berubah kusut
dan basah akibat air hujan yang bercampur dengan keringatnya.
“Maafkan
aku karena tidak pulang tepat waktu, kalau saja aku tiba lebih awal pasti hal
ini tidak akan terjadi. Hiks Aku minta maaf.” Pria itu bergumam di sela-sela
tangisannya dengan tangan yang menggenggam erat tiap jemari ibunya, menciumnya
sesekali, ingin menyesap aroma khas seorang ibu yang menjadi candunya setiap
saat untuk yang terakhir kalinya.
Ia
tak sanggup melihat keadaan ibunya sekarang bekas cekikkan di leher membuat
pria bernama Jungkook itu marah juga
bercampur sedih, ia tak tahu lagi harus berbuat apa hujan yang semakin lebat
ditambah petir dan kilat yang saling menyambar membuat Jungkook tak punya
harapan untuk menemukan pelaku yang membunuh ibunya, juga ia berpikir bahwa ini
kasus yang sangat bersih, tidak ada yang berubah dari perabotan dalam kamarnya
juga debu dari bingkai jendelanya tidak terdapat jejak, ia takut jika ia
melapor ke polisi nantinya akan menjadi kesaksian palsu dan ia yang akan
berakhir di penjara. Dahinya berkerut
ketika melihat noda darah di baju ibunya. Matanya tertuju pada telapak tangan
ibunya, dari situlah darah segar itu berasal. Dengan pikiran yang campur aduk
Jungkook meraih tangan kiri ibunya yang berlumuran darah.
“Tu..tujuh?”
Pria berumur 18 tahun itu semakin tidak mengerti.
“Siapa
bajingan yang berani berbuat hal keji sepert ini...” Geram Jungkook. Terdapat
sayatan-sayatan pisau di telapak tangan ibu Jungkook yang membentuk angka
tujuh. Jungkook semakin marah, ingin rasanya ia membunuh orang yang tega
membuat ibunya seperti ini, siapapun itu.
“Eomma...
Aku sangat menyesal, kenapa hal buruk selalu menimpaku.” Jungkook bergumam
sendiri di kamarnya, suasana rumah sepi dan cuaca yang seakan mengerti perasaan
pria itu, hujan tak pernah berhenti hari itu.
Dengan
mata sayu Jungkook terus menatap jasad ibunya yang terbujur kaku. Ia menajamkan
penglihatannya ketika iris tajamnya menangkap beberapa garis-garis kecil yang
terbuat dari darah di baju coklat muda ibunya. Sepertinya garisan-garisan itu
membentuk sebuah tuliasan seperti pesan kematian.
Jungkook
lebih mendekatkan kepalanya, merapikan lipatan-lipatan kecil dari baju itu dan
membaca tulisan itu.
Seketika
matanya terbelalak...
“Ha...
“
“Han...”
“Han
il??
TBC
Label: About My Bias ♥♥, BTS, FanFiction
|
Hey!!!
Walkie Talkie
My Status
My Story D' Credits
|
Posting Komentar