v a n i l l a t a e
FF BTS - Bangtan Boys / The Seventh Case / Part 3
Senin, 15 Februari 2016 • 05.01 • 0 comments

Telah terjadi pembunuhan kemarin malam di Apgujeong jalan no.17, pada mayat korban terdapat bekas cekikan di leher dan beberapa sayatan di telapak tangan. Dari wawancara dengan tetangga sekitar, korban tinggal bersama dengan anak laki-lakinya. Saat ini polisi masih mencari tau siapa dalang dari kejadian sadis tersebut”

Part 3~


“Jalan no.17? Bukankah alamat itu dekat sini?” Entah sejak kapan Jimin berada pada posisinya sekarang, ia langsung melemparkan pertanyaan pada Heoseok, matanya membesar, pupil yang bergerak cepat dan mulut yang dibiarkan menganga pada pelukannya terdapat bantal guling kecil berwarna coklat muda.



“Ia, memangnya kenapa? Ah- sepertinya aku sudah menemukan apartemen dekat sini sebaiknya aku berkemas”

“Heoseok hyung! Saat ini aku memohon padamu untuk tinggalah beberapa hari lagi” Jimin menahan tangan Heoseok erat dan memasang wajah memelas.

“Bukankah tadi kau mengusirku” Dengan perlahan Heoseok melepaskan tangan Jimin dari lengannya.

“Tidak, sejak kapan aku mengusirmu hyung-nim! Sebaiknya kita makan saja, bagaimana?”



******* The Seventh Case (The 7th case) *******


Pukul 07:35 pagi

Jam weker Jimin telah menunjukan pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit namun belum ada tanda-tanda kehidupan di kamar sederhana milik Jimin padahal mereka berjanji akan bangun pukul 6 pagi dan akan beres-beres rumah sebelum orang tua Jimin pulang bahkan alarmpun telah diatur jika jam menunjukan pukul 6 akan terdengar suara nyaring ayam saat berkokok pada waktu fajar, namun kenyataan berkata lain, tv dan playstation yang dibiarkan menyala menandakan bahwa mereka semalam bermain game sepak bola kesukaan mereka, biasanya Jimin akan memilih chelsea dan Heoseok selalu setia memilih barcelona dan tentu saja akan diakhiri dengan kemenangan Heoseok dan itu sering membuat Jimin ngambek, Heoseok sangat suka melihat Jimin ngambek menurutnya itu sangat lucu. Di lantai terdapat beberapa bungkus makanan ringan yang telah dikerumuni gerombolan semut yang bahkan lebih rajin dari pada kedua remaja yang saat ini masih terbalut selimut tebal.



30 menit kemudian...

 “Jimin-ah! Jimin-ah” Heoseok dengan penampilan berantakan mengguncang tubuh jimin. Matanya sembab dan rambut yang kusut tak teratur.

“Hmm... Wae?”

“Celaka! Sebentar lagi orang tuamu datang!!” Ucap Heoseok panik.

“Terus?”

“Apa kau lupa pesan ayahmu apa?”

“Eoh“

“Yah! Kita harus membuka restoranmu bodohh!”

Mata sipit Jimin terbuka seketika, detik itu juga Jimin langsung menyingkirkan balutan selimut dari tubuhnya dan berlari menuju restoran mereka yang terletak tepat di depan rumah. Ia tak mau berurusan dengan ayahnya.

“Hyung apa yang kau lakukan! Ayo cepat!!”

“Aish dasar”

Pukul 13:01 siang

Jelas sekali terlihat kesibukan di restoran ramen milik keluarga Jimin, para pekerja paruh waktu bolak balik membawa nampan mengantarkan pesanan kepada pelanggan, sebelumnya Jimin telah meminta maaf kepada beberapa pekerja peruh waktu karena keterlambatannya membuka restoran tersebut, ada yang datang dari jam 6:30 pagi karena memang ditugaskan pagi hari dan Jimin membuatnya menunggu selama satu jam. Jimin ceroboh sekali.

“Hoseok hyung! Tolong mangkoknya!” Jimin menempatkan Heoseok pada bagian mengurus mangkok tentu saja ia harus menjaga mangkok-mangkok itu agar tetap tersedia, ia harus mencuci mangkok-mangkok tersebut dengan bersih dan jangan sampai terlihat minyak sedikitpun itu pesan Jimin. Tentu saja saat ini Heoseok sudah sangat lelah buktinya punggung tangannya selalu ia gunakan untuk menyeka keringat yang siap menetes, jika saja yang dicuci piring tak akan selelah ini batin Heoseok. Park Jimin is such a good friend.

“Ia cerewet” balasnya

Tak lama setelah itu orang yang Jiimin dan Heoseok tunggu-tunggu tiba juga walaupun terlambat beberapa jam dari yang dijanjikan.

“Kalian sudah bekerja keras” Ucap ibu Jimin tersenyum bangga dengan banyaknya pelanggan dan pelayanan yang cukup baik, diikuti ayah Jimin yang langsung menuju bagian dapur.

“Jimin-ah sepertinya temanmu ini harus tinggal disini lebih lama” Canda ayah Jimin yang kini tersenyum ramah ke arah Heoseok berbeda dengan waktu pertama kali Heoseok datang ke rumah Jimin, Heoseok bagaikan seekor kelinci sementara ayah Jimin seekor harimau. Tatapannya sangatlah intens seolah Heoseok adalah seseorang yang akan menjerumuskan Jimin pada pergaulan bebas ditambah malam itu aroma minuman keras sangat kuat dari badan Heoseok dan juga Jimin membawa kesan buruk.

“Memangnya kenapa?”

“Mangkok dan gelas semuanya sudah mengkilap”

“Ayah ada-ada saja”

Heoseok hanya menggaruk tengkuknya malu sekaligus senang karena ayah Jimin memuji pekerjaannya.

“Jimin-ah pakai ini”Tiba-tiba Ibu Jimin memberikan pita kuning kecil.

“Huh? Bukannya ini” Jimin melihat karyawan lain telah menggunakan pita kuning kecil pada pakaian mereka masing-masing.

“Iya, salah satu karyawan kita berduka, ibunya meninggal” Ibu Jimin membantunya memasangkan pita kuning itu di dada Jimin

“Siapa?”

“Percuma saja.. Jika ibu beritahu kau tidak kenal, dia karyawan baru”

“Kasihan sekali”

“Hei, ngomong-ngomong kapan kau akan masuk universitas?” Tiba-tiba Ibu Jimin mengangkat pembicaraan yang sangat malas untuk Jimin bahas. Ia memutar matanya malas dan mendengus kesal.

“Ibu! Bukankah ibu bilang aku cukup meneruskan bisnis restoran ini?”

“Ibu berubah pikiran”

“Kenapa!?” Nada bicara Jimin menjadi tak teratur.

“Semua teman ibu memasukan anak mereka ke unversitas seoul”

“Terus apa hubungannya denganku?”

“Ibu ingin kau juga masuk ke universitas itu.”

“Kenapa ibu selalu mengikuti teman-teman ibu? Aku berbeda dengan mereka” Jimin kembali meletakan pisau yang hendak ia gunakan untuk memotong rempah. Ia keluar dari restoran dan pergi ke kamarnya.

“Aigoo,dasar belum dewasa”


                                                                                   ...                                                                           

Setelah sekian lama bergulat dengan mangkok serta gelas-gelas kotor akhirnya Heoseok menyudahi tugasnya. Heoseok mendapat semangkuk ramen dengan porsi ekstra sebagai rasa terimakasih kedua orang tua Jimin. Ayah Jimin sudah menjadi sangat akrab dengannya akibat pertanyaan-pertanyaan yang ayah Jimin lontarkan pada saat Heoseok mencuci mangkok dan gelas dan dengan senang hati Heoseok menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Yang menjadi pertanyaan Heoseok sekarang adalah keberadaan Jimin, tega sekali ia menempatkan sahabat terbaiknya itu pada tugas yang sangat banyak menguras tenaga.
Heoseokpun memutuskan untuk kembali ke kamar Jimin karena firasatnya berkata bahwa Jimin sedang berada di kamarnya, dan benar saja Jimin kini sedang tertidur pulas di ranjangnya berbalutkan selimut hangat, wajar saja hujan mengguyur kota apgujeong saat ini. Heoseok menggeleng-gelengkan kepalanya frustasi dengan sikap anak ini. Tak punya rasa terimakasih pikir Heoseok.




Keesokan harinya pukul 06:00 pagi

“Kookoorooyoo!!!”

Tepat pukul enam pagi jam weker Jimin berbunyi membangunkan kedua insan yang masih terlelap, berbeda dengan kemarin kini tv dan playstation tak dibiarkan menyala dan tak ada satupun bungkusan makanan ringan berserakan dlantai, mereka sengaja tidur lebih awal kemarin karena hari ini merupakan hari bersejarah bagi Jimin dan Heoseok.

“Kookoorooyoo!!!”

Alarm Jimin berbunyi keduakalinya, badan seseorang menggeliat menandakan ia sedikit terganggu dengan bunyi nyaring itu.

“Kookoorooyoo!!!”

Ia kembali menggeliat tak nyaman karena pendengarannya yang sangat terusik oleh polusi suara yang sangat bising, ia mengusap kasar matanya dan memutuskan untuk bangun. Di raihnya jam weker itu dan dimatikannya. Telinganya agak mendingan.

“Heoseok hyung bangunlah” Jimin yang pertama kali bangun bergegas untuk membangunkan Heoseok. Heoseok seperti orang mati saat itu, wajar saja kemarin ia yang bertanggung jawab menanggung tugas yang paling berat.

“Hyung!!” tiga menit berlalu namun tak ada tanda-tanda kehidupan dari Heoseok. Tiba-tiba Jimin terpikir akan cara ampuh yang selalu ia gunakan untuk membangunkan Heoseok. Jimin mengambil botol minuman di meja samping tempat tidur, menampung air itu dalam mulutnya dan tanpa ragu-ragu langsung menyemburkan air mineral itu tepat di wajah Heoseok. Jimin tertawa puas karena saat ini posisi Heoseok tengah duduk bersila sambil mengatur nafasnya yang terlihat seperti orang yang baru saja lari 10km.

“Park Jimin! Apa yang kau lakukan?!” Seru Heoseok sembari mengringkan wajahnya yang basah menggunakan baju yang ia pakai.

“Apa lagi... membangunkanmu.”

“Ya! Bisa tidak membangunkanku dengan cara baik-baik”

“Sudah, tapi hyung tak juga bangun”

“Aish, tapi kenapa selalu pake cara ini!”

“Sebaiknya kau siap-siap jam 7 tepat mereka akan mengumumkan peserta yang lolos”

“Aishh... baiklah”


******* The Seventh Case (The 7th case) *******


Sekolah Detektif Han il 07:05 Pagi.

Suasana ramai sangat terasa saat ini, para calon detektif mulai membentuk barisan rapi menghadap ke utara menunggu kedatangan kepala sekolah membuat yang menunggu semakin gugup akan hasil yang akan dibacakan sebentar. Tak menunggu lama kepala sekolah pun datang dengan membawa sebuah kotak misterius. Ia berjalan ringan menuju benda tinggi berbentuk silinder yang menjadi bahan penopang mic. Ia beberapa kali melakukan tes suara hingga menimbulkan suara berat namun terkesan tenang.

“Dalam kotak ini terdapat nama peserta yang lolos” Paparnya menatap dingin para peserta. Seketika perasaan gugup mulai menyeruak dari diri setiap para peserta, takdir mereka kini tergantung pada kotak hitam itu.

“Dan hanya 50 orang yang lolos” Tambahnya. Suara gaduh mulai mendominasi lapangan itu, kalimat-kalimat umpatan mulai terlontar dari beberapa peserta.

“Heol..” Desah Jimin menggaruk tengkuknya.

“Dari 200 orang hanya 50 yang lolos? Yang benar saja” Keluh Heoseok memutar bola matanya heran.
Kepala sekolah yang dibantu oleh kedua asistennya mulai membuka kotak itu, terdapat 50 kertas kecil yang tergulung rapi disana. Tak memperdulikan celotehan dari para peserta kini kepala sekolah mulai mengambil acak gulungan kertas itu, membukanya dan membacanya satu per satu.




5 Menit berlalu...

Seiring dengan dibacanya nama peserta yang lolos terdengar suara seruan rasa senang dari para peserta yang lolos, Jimin menjadi lebih gugup jantungnya berdegup tak wajar sekarang, iapun sesekali menggigit bibir bawahnya diikuti nafas yang berhembus panjang. Berbeda dengan Heoseok yang terlihat sangat tenang namun ia lebih memilih menggigit kukunya yang mungkin sudah berdarah sekarang.

“Min Suga” Gumam Kepala sekolah membaca nama di kertas itu untuk kesekian kalinya.

“Sialan, pria brengsek itu lolos” Umpat Jimin melemparkan tatapan sangar pada kepala sekolah itu, Jimin mulai tak nyaman sekarang ingin rasanya ia menghentikan ritme jantungnya yang berdegup begitu cepat. Ia mengaku bahwa hati kecilnya kini memohon agar namanya segera disebut.

“Jeon Jungkook” Nama peserta yang lolos kembali dibacakan.
Tunggu dulu, Jeon Jungkook? Otak Jimin berpikir keras mencari nama itu dalam pikirannya, nama yang waktu itu membuat Jimin bertanya-tanya. Ia mengedarkan pandangannya mengitari setiap sisi lapangan besar itu, mengecek setiap wajah calon detektif, mencoba mengingat kembali wajah pucat waktu itu. Tapi sayang tak ada wajah pucat yang persis seperti hari itu.

“Park Jimin”

“Jung Heoseok”
Mata kecil Heoseok sontak membulat ketika namanya dipanggil, tunggu dulu bukan hanya namanya melainkan nama Jimin juga disebutkan tepat sebelum namanya. Heoseok berteriak sambil berlompat kecil mengekspresikan perasaannya walaupun terkesan agak berlebihan. Ternyata keputusan Heoseok waktu itu membuahkan hasil walau ini baru permulaan. Sejenak tubuh Heoseok diam, ia mengernyitkan dahinya, mengangkat tangan kanannya dan menepuk pelan tubuh berotot sahabatnya yang terlihat mematung.

“Jimin-ah?”  Yang ditepuk sedikit tersentak, Jimin membalikan badannya dan mendapati wajah Heoseok yang sangat berseri bak anak kecil yang mendapatkan mainan baru.

“Kenapa dengan wajahmu hyung?” Jimin bertanya polos.

“Kau tidak dengar?”

“Dengar apa?”

“Kita lolos bodoh!!” Saking senangnya, Heoseok berteriak di akhir kalimatnya membuat calon detektif yang berbaris di sampingnya iri.

Mata Jimin membulat menatap Heoseok, pada detik selanjutnya ia menyipitkannya agar penglihatannya tak salah. Jimin tak memperhatikan Heoseok melainkan wajah pucat waktu itu, ia kembali menunjukan batang hidungnya jauh di belakang Heoseok dan berhasil mengalihkan perhatian Jimin.

“Hyung, tunggu sebentar!”


Jimin berlari cepat ke arah pria yang akhir-akhir ini menarik perhatiannya. Jimin tepat berhenti di bawah pohon maple di mana terdapat seorang pria .Ia memakai syal biru gelap, melingkar menutupi kulit leher sensitifnya bahkan hingga bibirnya. Daun maple tersebut masih hijau hingga tak menarik untuk dilihat seperti kesan pertama Jimin yang bertemu langsung dengan pria pemilik wajah pucat itu.

 “Tak menarik” Jimin bergumam pelan, matanya tak berkedip menatap sosok itu.

“Apa?” Pria di hadapan Jimin itu berucap untuk yang pertama kalinya, walaupun hanya kalimat pendek dengan nada pelan.

“Tidak ada apa-apa.. Ohyah, perkenalkan namaku Jimin” Jimin menjulurkan tangannya ramah sambil tersenyum ringan.

“Apa yang kau inginkan?” Jimin terpaku. Tangan yang ia ulurkan perlahan ia tarik kembali, tingkahnya sangat dingin membuat Jimin harus berpikir keras apa kalimat selanjutnya yang harus ia katakan.

“Ehm.. Tidak ada, aku hanya ingin mengucapkan selamat karena kau lolos” Beruntung bagi Jimin, kalimat itu langsung terlintas dalam pikirannya walaupun hanya untuk basa basi. Tak bertahan beberapa menit kecanggungan kembali menguasai pembicaraan kedua remaja itu.

 “Aku harus pergi..”

Jungkook pun pergi dari tempat itu, punggungnya yang semakin menjauh membuat Jimin semakin penasaran akan sosoknya. Ia kehilangan pria pemilik wajah pucat itu lagi.

...

Hari semakin sore. Jimin dan Heoseok berjalan di sisi kiri jalan utama dengan beratapkan langit yang mulai muncul degradasi oranye dan biru gelap, memilih jalan kaki sebagai pengisi waktu olahraga mereka. Burung-burung mulai kembali ke sarang mereka pertanda hari yang sibuk telah berakhir dan selanjutnya diisi dengan waktu untuk beristirahat.

“Hyung, apa yang terjadi pada anak korban pembunuhan itu?” Jimin pun memecah keheningan, ia menarik nafas dalam-dalam hingga membuat paru-parunya terasa dingin, kedua tangannya ia sembunyikan di dalam saku hoodienya karena udara dingin yang mulai menggangu epidermis kulitnya.

“Huh?” Heoseok terlihat berpikir, memindahkan lolipop rasa lemon yang ia hisap dari pipi kiri ke pipi kanan, hidungnya memerah lucu.

“Berita yang kau baca dari website waktu itu.”

“Ah! Entahlah, akhir-akhir ini aku jarang membuka website itu.”

“Bisakah kau mengeceknya?” Pintah Jimin sambil menendang kecil bebatuan yang mengganggu jalannya, ia mengulanginya beberapa kali hingga merasa kesal karena satu batu lolos alias tak berhasil ditendang.

“Baiklah” Heoseok merogoh ponselnya di saku celana bagian belakang, kebiasaan Heoseok menaruh ponsel. Ia beberapa kali menyentuh ponsel itu hingga beberapa suara dari keyboard ponsel terdengar. Ia menyentuh ponselnya kembali, mengayunkan ibu jarinya dari bawah ke atas dan sebaliknya membuat dahinya berkerut tanda ia kebingungan.

“Sepertinya tidak ada artikel terbaru tentang kasus itu” Heoseok berucap setelah mengecek recent update dari website itu, mengeluarkan lolipop rasa lemon itu karena pipi kanannya yang mulai ngilu.

“Kalau begitu aku ingin membaca berita yang waktu itu hyung baca”

“Aish kau merepotkanku saja” Heoseok mengeluh pelan. Ia pun menyentuh tulisan older post pada layar ponselnya berkali-kali membuat ia sedikit bosan.

“Jimin-ah ngomong-ngomong kapan aku membaca artikel itu?”

“hmm.. dua hari yang lalu berarti itu tanggal 25” Jawab Jimin.

“Tanggal 25? Kau yakin? Artikel itu tidak ada” Langkah Heoseok dan Jimin terhenti seketika. Manik tajamnya bertemu dengan manik onyx Jimin. Lampu jalan yang tepat berada di samping mereka tiba-tiba menyala dan Jimin dapat melihat dengan jelas kedua pupil Heoseok perlahan membesar pertanda sesuatu yang tidak beres telah terjadi.

“Itu artinya..” Heoseok berusaha bergumam. Mereka berdua mematung, membiarkan suhu begitu juga angin menyambar kulit wajah mereka membuat pipi menjadi dingin dan memerah.

“Dihapus” Tambah Jimin. Rahangnya mengeras, mengepal kuat-kuat tangan kanannya hingga bergetar kecil. Ia menendang keras kaleng yang berani-beraninya menghalangi jalannya diakhiri dengan hembusan nafas berat menciptakan gumpalan uap putih yang menyebar di depan wajahnya.

“Dari awal, aku merasa ada yang tidak beres dengan kasus itu” Desis Jimin menatap langit yang telah dihiasi bulan dan beberapa bintang, ia kembali membuang nafas berat.

“Kukira kau tak tertarik dengan kasus” Tukas Heoseok, ia kembali berjalan meninggalkan Jimin beberapa langkah di belakang sesekali menggesek-gesek kedua telapak tangannya agar tercipta rasa hangat.

“Tunggu aku!”

Jimin’s House, Apgujeong pukul 20.15 Malam

Jimin keluar dari kamarnya, dari tadi Heoseok selalu menang dalam permainan sepak bola yang mereka mainkan lewat layar tv. Heoseok selalu menertawakan Jimin dengan menampilkan eyes smilenya yang jelek itu sehingga Jimin kesal dan memutuskan untuk tidak mau bermain lagi. Jimin menuju ruang tamu dimana ada ibunya yang terlihat sedang menekan asal kalkulator mini setelah itu menulis sesuatu di sebuah buku kecil, rupanya ibunya sedang menghitung keuntungan dari penjualan ramen tadi. Jimin mendudukan dirinya tepat di samping ibunya. Ia duduk sangat pelan berusaha untuk tidak mengganggu konsentrasi ibunya.

“Ibu..” Sahut Jimin setelah ibunya menutup buku kecil itu.

“Hmm wae?”

“Aku penasaran akan satu hal.”

“Apa itu?” Ibu Jimin mengernyitkan dahinya.

“Bisakah ibu ceritakan tentang karyawan yang berduka itu?

“Huh?”


TBC


Label: , ,


Posting Komentar


PASTFUTURE
Hey!!!
[Hi guys,now you are in kpop area. I'm just an ordinary kpop fan who addicted to kpop XD I hope you enjoy being here and dont forget to leave your footprint at my cbox]

Walkie Talkie



My Status
Online 24/7 but I'm not a robot =D
My Story

D' Credits
Basecode : Inspirit's Baby
Template : Alia Eyra