FF BTS - Bangtan Boys / The Seventh Case / Part 4
Rabu, 10 Agustus 2016 • 08.06 • 0 comments
Sekolah detektif Han il, pukul 08.00 Pagi
Ke-50 peserta
Han il tengah duduk bersemangat untuk menerima kasus perdana mereka, Sepertinya
cerita hari ini harus di tulis dalam buku diary karena merupakan perjalanan
awal Jimin sebagai detektif. Yang dapat memecahkan kasus ini akan mendapatkan
nilai khusus. Jimin mengedarkan pandangannya mengamati setiap wajah dengan
karakter yang berbeda-beda, mungkin suatu saat akan menjadi musuh atau teman
kerjanya. Wajah pucat itu juga terlihat, barisan paling belakang di pojokan,
menatap sayu keluar jendela. Wajahnya dingin seperti biasa.
“Ini nama-nama
anggota kelompok beserta kasus yang akan kalian pecahkah” Ucapnya menempelkan
selembar kertas di papan tulis.
“Batas waktu
satu minggu, jika tidak terpecahkan kelompok akan langsung dikeluarkan”
Tambahnya. Ia pergi, berjalan ringan dengan dua pengawal yang setia
mengikutinya.
“Hanya itu?”
“Yang benar saja”
“Satu minggu? Bukankah itu terlalu cepat?!”
Semua peserta berbondong-bondong
menuju depan kelas, mengecek teman sekelompoknya. Beruntung bagi Jimin yang
memiliki badan yang lumayan kecil mudah untuk menyelinap hingga barisan paling
depan. Ia membaca nama-nama teman kelompoknya, sedikit khawatir dengan
kemampuan anggota kelompoknya. Terdapat tulisan ketua kelompok 3 di samping nama Jimin dan itu membuatnya sedikit
risih. Jari telunjuknya berhenti pada tulisan kelompok 3 menggesernya ke kanan agar menuntunnya pada kasus apa
yang nantinya mereka pecahkan. Jari telunjuknya berhenti dahinya berkerut,
terdapat angka 17 di sana.
“Pembunuhan di Apgujeong Jln No.17”
Tergambar Jelas rasa keputusasaan di wajah Jimin, ia menarik nafas berat dan
membaca kasus itu ditambah pasti salah satu anggota kelompoknya akan sangat
terpukul. Jimin kembali melirik wajah pucat itu dengan senyuman pahit terpatri.
...
Seluruh anggota
tengah berkumpul disebuah ruangan kecil, mereka menyebutnya markas. Terdapat
sofa tua panjang, tiga kursi kayu yang dua diantaranya sudah rapuh dan sebuah
meja di sana, sepertinya hanya meja itu yang terlihat baru. Mereka
berbondong-bondong duduk di sofa tua tersebut, terlihat tersiksa namun tak ada
yang berani untuk duduk di kursi lapuk itu.
“Pertama-tama,
sebaiknya kita memperkenalkan diri dulu” Usul Heoseok, ia memutuskan untuk
berdiri tak tahan jika harus berdempetan di sofa tua itu.
“Aku Jung
Heoseok, tolong bimbingannya” Ucapnya tersenyum canggung dengan tangan melambai
kaku. Mereka pun memperkenalkan diri mereka satu-persatu tawa juga kecanggungan
bercampur menjadi satu dan pada saat pemilik wajah pucat itu kembali
menyebutkan namanya Jimin merasa kasihan.
Kelompok 3 ketua
Park Jimin dengan anggota 9 orang. Dengan anggota, Jung Heoseok, Jeon Jungkook,
Min Suga, Namjoon, Jin, V, Lee, BigL, dan Joontae. Beberapa anggotanya tidak
memakai nama asli membuat Jimin terkekeh geli mendengarnya.
“Kasus kita
adalah Pembunuhan di Apgujeong Jln No.17” Gumam Jimin mantap. Sesekali ia
mengintip seseorang takut jika ia melukai perasaanya, namun ia rasa tidak,
wajah itu selalu saja dingin.
“Huh? Bukannya
kasus itu telah ditutup oleh pihak kepolisian?” Suara monoton kini terdengar,
ia menatap datar Jimin dengan sedikit memainkan lidahnya. Namanya Namjoon,
kulitnya sedikit tan dengan rambut blonde terang membuatnya lebih mirip orang
asing.
“Iya, untuk itu
kita harus berhati-hati jangan sampai polisi tahu” Kini pria yang paling tinggi
bersuara. Namanya Jin, menyukai warna pink dan segala hal berbau disney.
Sepertinya pria itu sedikit girly batin Jimin.
"Benar”
Pria dengan ikat kepala merah bergumam pelan, dari antara para anggota ia
paling pendiam, bahkah pada saat memperkenalkan diri ia hanya menyebut kata Lee sedikit berbungkuk dan kemudian
duduk kembali. Benar,namanya Lee. Jimin tak berani menanyakan nama aslinya.
“Aish kurasa
kasus kita yang paling susah” Pria yang terlihat seperti anak-anak itu mengusap
kasar rambutnya, ia selalu mengeluh tadi buktinya. Namanya Kim Taehyung, ia
memberitahunya namun ia lebih suka jika dipanggi V.
“Apa lebih baik
kita mengganti kasus kita saja? Ganti yang lebih gampang seperti anak anjing
hilang dan kita hanya perlu mencarinya.” Tambah seseorang, Jimin melihatnya
malas. Kulitnya yang terlalu putih itu membuat mata Jimin sakit. Namanya Min
Suga. Menjadi detektif karena detektif terlihat keren saat memecahkan kasus.
“Apa yang kau
bicarakan! Serius sedikit!” Pria berbadan besar bersuara, suara bassnya membuat
yang lain takut membuka mulut, mereka menyebutnya BigL.
“Sebaiknya kita
pergi ke tempat kejadiannya dulu, lalu mencari keluarga atau orang terdekat
korban” Anggota yang paling tua pun bersuara, memberi saran yang lumayan masuk
akal. Namanya Joontae kadang lebih suka jika dipanggil Joon atau Tae.
Sekitar satu
setengah jam mereka berdiskusi tentang kasus mereka. Ribut, karena pendapat dan
saran yang berbeda-beda namun dapat diatasi oleh Jimin. Hari itu juga mereka
memutuskan untuk pergi ke tempat kejadian , yang pasti diam-diam karena kalau
ketahuan mereka tahu mereka akan berurusan dengan polisi.
D-7 |Tempat kejadian perkara | Pukul 11:47 siang.
Kesepuluh
anggota kelompok 3 kini tiba di tempat kejadian perkara, mereka tepat berhenti
di depan rumah kecil dengan cat yang mulai mengelupas. Jimin yang dipercayakan
menjadi ketua berjalan di barisan paling depan, ia membuka pintu usang itu
dengan hati-hati dan masuk ke dalam rumah itu diikuti oleh ke-9 temannya. Suhu
rumah itu dingin, beberapa perabotan pecah dan patah, mata Jimin bergerak cepat
melihat keadaan rumah tua itu, sedikit bergidik karena matanya menangkap tikus
serta serangga berlarian kesana-kemari. Mereka berpencar, beberapa orang pergi
ke dapur, yang lain mencari petunjuk di dalam kamar dan sisanya memeriksa ruang
tamu.
Ujung mata
Jimin menangkap sosok wajah pucat itu tengah memegang sebuah benda kecil yang berkilau,
ia menggenggam benda itu erat. Wajahnya terlihat damai dan lembut ketika pipi
pucat itu menempel dengan perak berkilau itu sementara bibirnya melengkung
tersenyum hangat. Jimin pun memberanikan dirinya untuk menghampiri sosok
pemilik nama lengkap Jeon Jungkook itu.
“Hei...” Sapa
Jimin, badan Jongkook terlonjak kecil dan langsung menyembunyikan benda kecil itu
di saku celananya. Ia sedikit berdehem mencoba mencairkan suasana dan beberapa
kali mengerjapkan mata.
“Kau tak tahu
namaku?” Jungkook bergumam. Sedikit aneh, karena wajah pucat kini berucap ramah
bahkan ia tersenyum kecil. Mungkin suasana hatinya sedang baik karena kembali
ke rumah di mana ia dan mendiang ibunya mengukir kenangan bersama.
“Ah~ Bukan
begitu, aku hanya tak terbiasa jika memanggil seseorang dengan nama jika tak
mengenal baik orang tersebut.”
“Ahh, begitukah?”
“Begini saja,
bagaimana kalau kita mulai dari awal, maksudku kita berdua melakukan perkenalan
seperti orang yang baru pertama kali bertemu.” Jimin berusaha mencairkan
suasana, yang hanya bisa ia lakukan adalah berdoa dalam hati agar sosok itu tak
menolak tawarannya.
“Baiklah...
Jeon Jungkook” Doa Jimin terkabul, Jungkook di depannya kini menjulurkan
tangannya mantap.
“Jimin, Park
Jimin” Dengan cepat Jimin langsung membalas uluran tangan Jungkook dengan
senyuman lebar tak lepas dari wajahnya.
“Jungkook-ah,
bisakah kita bicara”
Other
Side
Namjoon,
Taehyung dan Suga berada di kamar tempat di mana mayat ditemukan. Tak ada petunjuk, kalimat itu yang
berkali-kali mereka lontarkan. Beberapa barang patah dan hancur karena
tendangan Namjoon sebagai pelampiasan emosinya membuat Taehyung menggigit bibir
bawahnya dan terlonjak kecil. Taehyung juga mulai putus asa, ia mengaku bahwa
kemampuan menyelidiknya masih kurang baik namun ia tak pernah menyerah, ada sebuah
kasus yang selalu menjadi motifasinya dan berubah menjadi tugas yang harus ia
selesaikan.
“Namjoon-ssi
bisakah untuk tidak menggunakan kekerasan, disini otak yang bekerja” Tanpa rasa
takut sedikitpun, Suga mencoba memperingati Namjoon. Ia mengusap kasar telinganya
karena suara keras dari perabotan kayu yang Namjoon tendang.
“Hyung!”
Telapak tangan Taehyung dengan sigap menutup mulut Suga, menyeretnya dengan
hati-hati ke luar ruangan. Matanya
melirik Namjoon, ia sedang menahan amarahnya, tangannya mengepal kuat ketika
melihat Suga diseret keluar oleh Taehyung.
“Ayolah hyung, kau
seharusnya tak mengatakan itu”
“Dia pantas
menerimanya”
Taehyung
menarik Suga ke ujung ruangan yang berada di dekat kamar mandi, frustasi dengan
tingkah kedua teman kelomponya yang tidak dewasa. Taehyung memijit pelan
pelipisnya mencari jalan keluar dari masalah tersebut.
“Kau sebaiknya
minta maaf hyung”
“Tidak, aku
harus pulang. Waktuku terbuang percuma di sini.” Suga bergumam enteng, sesekali
ia mengangkat kedua bahunya.
“Hubungi aku
jika sudah ada petunjuk, oke!”
“Hyung!” Taehyung
tak tahu harus berbuat apa lagi, dilihatnya Suga sedang mengambil tas hitam
bermerk terkenal dan dirangkulkan ke bahunya. Taehyung mendesah pelan, jika
Jimin mengetahuinya pasti akan menjadi masalah besar.
Taehyung
memutuskan untuk masuk ke kamar itu lagi, kini Jimin dan Jungkook juga terlihat
di sana. Menyentuh dan mengamati setiap
benda-benda dalam kamar, itulah yang mereka lakukan.
“Ibuku
meninggal di sini” Jimin terlonjak kecil ketika suara ringan Jungkook memecah
keheningan. Jungkook duduk di tepi ranjang berukuran sedang, memainkan jarinya
mengusap lembut kasur putih itu. Menyalurkan kerinduan yang beberapa hari
terakhir ini ia pendam. Rasa sakit itu kembali muncul mengusik hati kecilnya yang damai, sungguh
tak nyaman. Jungkook sangat membenci rasa sesak itu yang selalu datang ketika
ia melamun ataupun kesepian.
“Ia tergeletak
kaku tepat di tempat ini” Tangannya bergetar menepuk-nepuk kasur empuk itu dan
mengusapnya lagi. Tangan Jungkook meremas kasar jantungnya. Dadanya sesak, rasa
sakit itu hadir kembali membawa ingatan-ingatan pilu ketika ibunya terlentang
kaku bersimbah darah.
“Dasar keparat”
Umpatan telak lolos dari bibir tipisnya ketika bekas cekikan di leher terlintas
begitu saja dalam pikirannya. Jungkook merasakan panas mengelilingi bola
matanya, tanpa sadar satu bilur air mata menetes dari sudut mata kanannya.
Sebuah air mata penuh dendam yang ingin sekali ia ubah menjadi air mata kebahagiaan
suatu hari nanti.
“Jungkook-ah?”
Tangan Jimin menyentuh lembut punggung Jungkook, meremasnya pelan membiarkan
sedikit energinya berpindah pada pria satu tahun lebih muda darinya itu.
“Kau tahu apa
yang kutemukan pada mayat ibuku” Jungkook berucap parau, wajahnya berubah
drastis, tatapan kosong dengan senyuman pahit yang tak henti-hentinya ia
sunggingkan.
“Sebuah angka
tujuh terpahat kasar di telapak tangan ibuku, menurutmu seberapa perihkah rasa
sakit yang ibuku rasakan?” Mata kosong Jungkook menatap Jimin, bertanya
layaknya orang bodoh dan kehilangan akal. Namun Jimin tak bicara, ia membiarkan
Jungkook meluapkan segala curahan hati serta penat yang selama ini ia
sembunyikan di balik wajah dinginnya.
“Kenapa kau tak
menjawab Park Jimin? Ku kira kau tahu segalanya!”
“Perih, pasti
sangat perih” Jawab Jimin
“Kau tahu
bahkan lehernya membiru, sesorang mencekiknya” Jungkook menutup erat matanya,
nafasnya menderu. Ia selalu geram ketika mengingat bekas cekikan itu.
“Jungkook-ah,
aku tahu perasaanmu sekarang tapi kau tak seharusnya begini, ibumu tak akan
suka melihatmu bertingkah seperti ini”
Ujar Jimin dengan sangat lembut, berusaha agar tak melukai hati
sensitifnya.
“Aku tahu, tapi
rasa ini selalu datang dengan tiba-tiba”
”Sesakit apapun
itu pasti lama-kelamaan akan hilang, bertahanlah sedikit lebih lama
Jungkook-ah” Jimin memegang kedua bahu Jungkook, menatapnya dengan penuh
keyakinan sambil tersenyum kecil.
PRANG!
Seseorang
mematung, nafasnya terasa berhenti sesaat. Mata belalaknya ia gunakan menatap
Jungkook tanpa mengedip. Vas bunga kecil yang baru saja ia amati pecah
berhamburan di lantai karena tangannya yang kaku seperti mati rasa. Ia masih
tak mengerti mengapa Jungkook berkata seperti itu atau mungkin dirinya yang
terlalu bodoh untuk mengetahui bahwa korban pembunuhan itu adalah ibu temannya
sendiri.
“Taehyung-ah!”
“Ke-ketua!
Bisakah kau jelaskan semuanya” Ucap Taehyung dengan posisi mematungnya. Ia tak
berniat untuk mengubah posisi, otaknya masih sibuk mencerna percakapan Jimin
dan jungkook tadi.
...
“Hari ini tak
ada satu petunjuk yang kita dapat” Jimin merenggangkan ototnya yang kelelahan
walau hanya beberapa jam di rumah itu. Ia bersama teman sekelompoknya berjalan
mengitari Apgujeong. Disini Jimin berperan sebagai tour guide, menjawab semua pertanyaan teman-temannya yang ingin
tahu tentang Apgujeong.
“Kita masih
punya waktu 6 hari 9 jam 2 menit 36 detik” Tutur Taehyung, ia baru saja
menghitung waktu yang tersisa menggunakan smartphonenya. Ia menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal dan tesenyum konyol.
“Kau terlalu
berlebihan” Timpal Joontae menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jimin-ah
bukankah rumahmu dekat sini?” Suara bass membuat Jimin menolehkan kepalanya
kebelakang.
“Benar hyung!”
Ternyata itu BigL.
“Kudengar kau
membuka restoran ramen”
“Iya, dari mana
hyung tahu?”
“Heoseok yang
memberitahu”
Jimin melirik
Heoseok yang ada di sampingnya. Heoseok yang kadang-kadang menyebalkan itu
sedang bersiul dengan tangan melipat di dadanya.
“Benar, tepat
diujung sana” Tangan Jimin terulur panjang menunjuk restoran ramen miliknya.
“Ayo!” Mata
BigL bersinar, dalam kepalanya telah terbayang mie ramen dengan kepulan asap berbentuk
telapak tangan seolah memanggilnya untuk segera makan.
“Huh? Kemana
hyung?” Adam apple Jimin naik turun,
dengan susah payah ia menelan air liurnya. Otaknya kembali mengingat peristiwa
satu tahun yang lalu saat Heoseok memberitahukan bahwa Jimin membuka restoran
ramen pada teman-teman Jimin yang waktu itu sedang mengadakan acara perpisahan
sekolah di sebuah hotel dekat Apgujeong. Tentu saja teman-teman Jimin menganggap
itu adalah sebuah ajakan. Jimin tak berani mengingat total kerugian saat itu.
“Ke restoranmu,
aku sudah lapar”
“Jung Heoseok
awas kau” Jimin berteriak dalam hati.
D-6 | JJANG RESTORAN | 11.30 Siang
“Taehyung-ah
maaf karena baru memberitahumu”
“Tak apa-apa.
Aishh tapi kenapa kalian tidak memberi tahuku dari awal” Taehyung meremas kecil
rambut coklat gelapnya.
Jimin
berkali-kali meminta maaf pada Taehyung, ia seperti belum dapat menerima semua
hal yang Jimin ceritakan, Taehyung merasa ia yang paling bodoh dan ialah korban
yang sebenarnya disini.
“Maaf, aku
hanya tak mau melukai perasaan Jungkook.” Jimin tak berniat meminum blueberry
smootie yang ia pesan setengah jam yang lalu, Jimin terlalu merasa bersalah
untuk meminum minuman segar itu, ia hanya mengaduk-ngaduk minuman itu dengan
sedotan.
“Aish tunggu
dulu .Apa hanya aku yang tak tahu?? Sejak kapan kau tahu bahwa korban itu
adalah ibu Jungkook?” Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Jimin kembali menelan
air liurnya kasar.
“Ya!! Kau orang
kedua yang aku beritahu setelah Heoseok hyung”
“Benarkah?”
“Eoh!”
“Baiklah aku
maafkan, tapi bagaimana dengan teman-teman yang lain?”
“Mereka
seharusnya sudah berada disini” Jimin melirik jam tangannya.
“Oh! Itu
mereka”
Sekolah Detektif Han il | 11.59 Siang
Seorang pria
berbadan kekar tengah menatap keluar jendela dari lantai dua. Topeng keemasan
menutup mata kirinya. Di sela jarinya terdapat rokok merk no.1 yang ia sesap
berkali-kali, ia menyipitkan matanya ketika bayangan seseorang terlintas di
benaknya. Ketika smartphonenya berbunyi dengan sigap ia mengambilnya bahkan rokok
mahal yang belum setengah itu ia buang di sembarang tempat. Pria berkulit hitam
itu tersenyum kecil setelah membaca pesan singkat yang tak sampai beberapa
detik ia buka. Suatu hal telah membuatnya puas. Ia meraih saku kemejanya
mengeluarkah kotak kertas untuk melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi.
CEKLEK!
Seseorang
membuka pintu, pria itu tahu bahwa itu adalah salah satu orang kerjanya.
“Bagaimana
perkembangan kasus mereka?” Tanyanya setelah menghembuskan asap pembawa
penyakit itu di depan wajahnya.
“Masih belum
ada perkembangan yang signifikan tuan”
“Ck, bahkan
anaknya yang fenomenal itu tak dapat berkutik”
“Kau boleh
pergi” Tambahnya.
TBC~ Label: About My Bias ♥♥, BTS, FanFiction
|
Hey!!!
Walkie Talkie
My Status
My Story D' Credits
|
Posting Komentar